Siang itu, matahari bersinar garang, tapi angin yang sesekali berembus membuat cuaca terasa lebih ramah. Sebuah keuntungan kelas kami berada dipaling atas dan ujung, dekat hutan yang sesekali dibuat tempat kemah oleh sekolah. Disela-sela jam kosong pelajaran olahraga, aku dan delapan temanku sibuk membangun sesuatu—bukan proyek ilmiah atau tugas seni, tapi tungku darurat dari batu bata.
“Yakin ini bisa nyala?” tanya Selvia sambil menyilangkan tangan, menatap skeptis ke arah susunan batu bata yang tampak goyah.
“Bisa lah! Yang penting ada kayu bakarnya,” jawab Evita, yang sejak tadi sibuk mengumpulkan ranting kering. “Kalau gak nyala, kita tiup-tiupin aja.”
Api akhirnya menyala setelah percobaan berkali-kali, meskipun sempat nyaris padam karena angin. Panci kastrol yang kami bawa mulai dipanaskan. Kami menuangkan air dengan perhitungan asal-asalan—”segini cukup nggak?” “tambah lagi, dikit aja!”—sampai akhirnya kami merasa puas.
Saat air mulai mendidih, kerupuk mentah mulai kami masukkan. Aroma rempah dan cabai mulai tercium, membuat perut kami yang lapar semakin meronta. Aku mengaduk dengan sendok sayur sambil memastikan semuanya tercampur.
“Kebanyakan gak sih cabainya?” tanya Chalifa, melihatku menuangkan bubuk cabai hampir sebungkus.
“Seblak harus pedes lah, biar nagih!” sahut Rahma santai.
“Jangan kebanyakan, sakit perut nanti,” ucap Suci, sedikit memperingatkan.
Tapi ternyata, memasak dengan tungku darurat itu tidak mudah. Panci kastrol yang kami pakai mulai menghitam di bagian bawah, dan kuahnya mulai menyusut lebih cepat dari perkiraan. Kami sempat panik, namun akhirnya memutuskan untuk membiarkannya saja.
Akhirnya, seblak kami matang—atau lebih tepatnya, terpaksa matang. Kami duduk melingkar, menyendok hasil masakan dengan wadah seadanya. Satu suapan pertama langsung memberi kejutan.
“Woy pedes banget!” seru Risti, matanya langsung berair.
“Minum! Minum!” Nita buru-buru menyerahkan botol air.
Sementara Risti kepedasan, yang lain malah tertawa. “Kan tadi udah dibilang, hati-hati,” kata Hilma.
Tapi ternyata, kepedasan bukan satu-satunya masalah. Kerupuknya sedikit terlalu lembek dan ada sedikit rasa gosong yang menyusup di setiap suapan. Namun anehnya, tak ada yang benar-benar mengeluh. Kami justru tertawa lebih banyak, menertawakan seberapa aneh sekaligus enak hasil masakan kami, tapi juga menikmati kebersamaan yang mungkin tak akan lagi kami temukan.
Di hari-hari mendatang, mungkin kami akan kembali tenggelam dalam tugas dan kesibukan masing-masing. Mungkin akan ada hari di mana kami susah berkumpul kembali, jarang bertemu, bahkan mungkin terpisah oleh jarak yang tak bisa dijangkau. Tapi momen ini—seblak kastrol di atas batu bata, tawa yang lepas, dan kepedasan yang terlalu—akan selalu tersimpan di ingatan.
Sebab bukan soal membuat apa, tapi dengan siapa. Rasa pedas dan gosong masih bisa kami atasi, tapi entah kapan momen seperti ini akan terulang lagi.